Kajati Kalsel DR.Mukri sesuai resmikan tiga Rumah Restoratif Justice di Kabupaten Tapin, Kalsel, Rabu 8 Juni 2022.(foto: ist) |
RANTAU - Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Dr Mukri, S.H., M.H., didampingi Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Tapin Adi Fakhruddin, S.H., M.H., bersama Bupati Tapin HM.Arifin Arpan dan Jajaran Forkopimda resmikan tiga Rumah Restoratif Justice di Kabupaten Tapin, Rabu 8 Juni 2022.
Tiga Rumah Restoratif Justice yang diresmikan Kajati Kalsel di Kabupaten Tapin itu yakni di Kecamatan Tapin Utara, Kecamatan Binuang dan Kecamatan Candi Laras Utara (CLU).
Diketahui, Rumah Restoratif Justice merupakan Program Kejaksaan Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Jaksa Agung ST Burhanuddin yang sejak awal tahun 2022 ini didirikan di beberapa Kejaksaan Negeri di seluruh Indonesia.
Program tersebut dinilai sebagai pemecah permasalahan hukum, yang kerap terjadi di tanah air dan diatur dengan peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 terkait Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif.
"Rumah Restoratif Justice ( RJ ) ini diharapkan bisa menjadi wadah atau tempat informasi bagi masyarakat dalam menyelesaikan setiap permasalahan, yang berkaitan dengan hukum," ujar Kajati Kalsel Dr Mukri.
Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Dr Mukri, Rumah Restoratif Justice ini sangat strategis, ketika ada suatu permasalahan terjadi dimasyarakat yang dianggap melanggar hukum, dan bukan kategori berat, maka masih bisa diselesaikan melalui musyawarah dan bisa diselesaikan di Rumah Restoratif Justice yang baru diresmikan itu.
"Namun demikian, tidak seluruh permasalahan hukum dapat diselesaikan melalui restoratif justice, atau dengan keadilan restoratif dengan tidak perlu diselesaikan melalui pengadilan, karena ada beberapa parameter yang harus tempuh sesuai dengan aturan," terangnya.
Dr Mukri mengatakan, salah satu parameternya yakni suatu tindak pidana dengan ancaman hukumannya tidak lebih dari 5 tahun, adanya musyawarah antara tersangka dan pelapor, si tersangkanya bukan residivis atau baru kali pertamanya melakukan tindak pidana. Dan ketika menimbulkan kerugian, kerugiannya harus diganti.
"Kemudian proses musyawarah pun harus bersifat transparan dan obyektif. Tidak boleh ada yang ditutupi, atau intimidasi dari pihak manapun harus benar - benar ikhlas ( pure ) untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi," tuturnya.
Lanjutnya, RJ itu untuk mengembalikan suatu keadaan seperti semula sebelum peristiwa hukum itu terjadi, karena asasnya penegakan hukum itu untuk keadilan dan kepastian serta manfaat.
"Kalau prosesnya sudah dilakukan dan perdamaian sudah dilaksanakan juga pada musyawarah itu disaksikan oleh tokoh Agama, TNI - Polri dan pihak terkait lainnya, untuk apa lagi dilakukan proses hukum kan nantinya malah tidak bermanfaat," tandas Kajati Kalsel.(ron)