Iklan

Iklan

Korupsi Masalah Negeri yang Tak Pernah Usai

BERITA PEMBARUAN
04 Juli 2023, 08:53 WIB Last Updated 2023-07-04T01:53:29Z


Oleh : Ratna Munjiah 


Tak hanya menuntut perpanjangan masa jabatan, para kepala desa juga meminta pemerintah menaikkan anggaran dana desa. Mereka meminta alokasi dana desa sebesar 10% terhadap APBN atau mencapai Rp300 triliun dari total APBN 2023 yang mencapai Rp3.061,2 triliun.


Permintaan tersebut tiga kali dari alokasi dalam APBN 2022 sebesar Rp68 triliun. Sejak berlaku pada 2015, anggaran dana desa sebetulnya terus mengalami peningkatan. Total penyaluran dana desa hingga 2022 mencapai Rp468,9 triliun.


Menurut data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), terdapat 74.960 desa penerima dana desa pada 2022. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan 74.093 desa pada 2015. Rata-rata setiap desa memperoleh anggaran sebesar Rp907,1 juta pada 2022. Angka ini mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan 2015, yang hanya Rp280,3 juta. 


Jika dilihat berdasarkan pelaku/aktor, kepala desa menempati posisi ketiga yang paling banyak terjerat kasus korupsi. Sementara posisi pertama dan kedua adalah pegawai pemerintahan daerah dan swasta.


Korupsi dana desa sangat banyak terjadi termasuk yang dilakukan oleh kepala desa. Sementara di sisi lain ada wacana revisi undang-undang desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun.


Kasus korupsi terus terjadi di negeri ini, akar masalah dari praktek korupsi adalah diterapkannya sistem demokrasi. Sehingga para pemangku kebijakan dengan leluasa menghalalkan segala cara untuk terus memperkaya dan menumpuk harta. 


Hilangnya keimanan  dan kesadaran bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat membuat mereka senantiasa merasa kurang dan kurang. Salah satu kebijakan yang dibuat untuk memuluskan jalan mereka menumpuk harta yakni dengan memperpanjang masa jabatan. 


Padahal masa jabatan yang panjang akan beresiko terhadap meningkatnya korupsi, dan ini tentu perkara negatif yang dihasilkan dari penerapan sistem rusak. 


Melihat maraknya kasus korupsi membuktikan bahwa kekuasaan atau jabatan yang diberikan di alam demokrasi merupakan jalan mulus bagi mereka untuk meraup kekayaan. Jabatan dan kekuasaan merupakan jalan pintas untuk mengumpulkan materi yang mana dalam lingkup demokrasi yang membuat dan menerapkan hukum adalah manusia yang didasarkan pada hawa nafsu sehingga hukum penuh dengan kepentingan.


Demokrasi yang merupakan turunan dari kapitalisme adalah cara legal yang menjadi justifikasi atas perampokan harta rakyat. Dengan berdalih pada keputusan wakil rakyat munculah berbagai perundangan yang isinya justru merampas dan menguras kekayaan rakyat. 


Hal ini terjadi karena para wakil rakyat yang seharusnya menjadi wakil rakyat, justru ketika menyusun perundang-undangan malah menjadi wakil kaum kapitalis yang sedari awal menanam sahamnya di dunia politik agar kepentingannya tetap terjaga.


Jadilah melalui demokrasi aset dan kekayaan negara terkuras habis, diputuskan untuk di privatisasi dan dikuasai oleh swasta. Anggaran negara menjadi proyek-proyek yang minim dalam menyejahterakan rakyat, namun justru menjadi sarana untuk menumpuk kekayaan. Hawa nafsu manusia senantiasa mendapatkan saluran dan pembenarannya.


Bagaimana bisa membangun masyarakat bertakwa ketika negara menyerahkan ketakwaan hanya menjadi persoalan personal dan individual. Saat kebenaran dan kebathilan dibiarkan bertarung secara bebas, maka individu-individu jauh dari nilai-nilai ketuhanan sehingga negara alpa untuk menjaga rakyatnya.Bisa dipastikan selama sistem rusak ini diterapkan maka kasus korupsi akan terus bertambah dan bertambah. Butuh sistem sohih untuk menghapus korupsi dan sistem itu adalah sistem Islam.


Sistem Islam mengharamkan korupsi oleh siapa saja. Islam sudah memiliki mekanisme jitu untuk mencegah korupsi dan memberikan sanksi bagi orang yang melanggar. 


Islam menetapkan jabatan adalah amanah dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Penguasa diwajibkan untuk mengurus urusan rakyat dengan syariat Allah bukan dengan hukum lain. 


Kekuasaan di dalam Islam adalah tanggung jawab. Kekuasaan tidaklah diberikan kepada seseorang melainkan untuk mewujudkan tujuan. Tercapainya tujuan tersebut merupakan tanggung jawab bersama antara rakyat dan penguasa. 


Sehingga kepemimpinan dalam konteks bernegara adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah SAW bersabda "Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurus (HR al-Bukhari dan Ahmad).


Dalam hadits tersebut jelas bahwa sebagai pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurus mereka dengan baik atau tidak. 


Mengurus urusan rakyat menjadi amanah seorang pemimpin dan harus dijalankan sesuai dengan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya (syariah Islam). Karena itu selalu merujuk pada syariah Islam dalam mengurus semua urusan rakyat adalah wajib. 


Allah SWT berfirman "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya serta ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (as-Sunnah) (TQS al-Nisa (4):59).


Sudah saatnya rakyat harus mengambil seluruh hukum syara dalam mengatur seluruh aspek kehidupan agar pengelolaan negara bisa benar-benar tunduk pada aturan yang telah disyariatkan Allah swt sebagai Pencipta alam semesta. Wallahua'lam.


Penulis adalah Pemerhati Sosial Masyarakat di Kaltim

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Korupsi Masalah Negeri yang Tak Pernah Usai

Terkini

Topik Populer

Iklan