Iklan

Iklan

Terorisme dan Dampaknya Upaya Perlindungan Korban dan Peran Media Massa

BERITA PEMBARUAN
27 Juli 2023, 16:45 WIB Last Updated 2023-07-27T09:45:42Z
Aktivis seusai Diskusi Media yang digelar Medialink bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta, Rabu 26 Juli 2023.(foto:ist)


JAKARTA - Terorisme selalu meninggalkan bekas luka mendalam bagi masyarakat yang terkena dampaknya, mencakup penderitaan fisik, psikologis, psikososial, dan kerugian harta benda akibat aksi kekerasan tersebut. Selain itu, terorisme juga menimbulkan situasi kondisi yang mencekam bagi seluruh lapisan masyarakat.


Dampaknya  yang meluas dan mendalam tersebut menyebabkan, tindak terorisme tidak lagi dianggap masalah yang ringan (soft issues) tetapi sudah berubah menjadi masalah yang strategis (high politic) dan sebagai bagian dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) dan menjadi musuh umat manusia (hostes humanis generis).


Terkait dengan terorisme, sebenarnya sudah ada regulasi yang mengatur hal ini. Namun dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan masyarakat korban terorisme. Kendala lainnya dalam upaya pemulihan tindak terorisme adalah, kurangnya penanganan paska aksi terorisme menggunakan perspektif gender-based approach.


Sampai saat in, apa yang dijanjikan pemerintah seperti yang tertuang dalam peraturan, belum sepenuhnya terlaksana. Padahal kita benar-benar butuh perhatian itu,” ujar Wakil Ketua Forum Komunikasi Aktivis Akhlakulkarimah Indonesia (FKAAI) Tony Soemarno dalam Diskusi Media yang digelar Medialink bersama Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) di Jakarta pada 26 Juli 2023.


Menurut Tony yang juga korban tragedi Bom JW Mariot, sampai saat ini perhatian negara terhadap korban terorisme masih terkesan kurang serius dan bernada basa basi.


“Program asuransi BPJS yang dijanjikan misalnya, hingga kini belum jelas. Kami pun tidak dapat mengakses sampai di mana perkembangan asuransi yang akan dibayarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),” sambung Tony.


Senada dengan Tony Soemarno, pakar terorisme yang juga staf pengajar Universitas Indonesia Dr Zora A. Sukabdi melihat masalah terorisme ini merupakan masalah global yang penanganannya tidak sederhana.


Janji pemerintah terhadap korban terorisme misalnya, juga tidak segampang yang dirumuskan,  terlebih jaminan pemerintah terhadap korban paska kejadian.


Zora mencontohkan, untuk menyikapi rencana kepulangan para WNI eks TKI yang sebelumnya terpapar radikalisme di sejumlah negara terdapat perbedaan kebijakan di antara lembaga pemerintahan.


“Untuk TKI yang akan diberangkatkan ke luar negeri, perlu diberikan pembekalan, pemeriksaan fisik dan psikis oleh psikiater dan psikolog klinis demikian juga bagi TKI yang akan kembali ke tanah air terutama mereka maupun anak-anak yang terafiliasi dengan terorisme juga penting untuk diberikan pendalaman idiologi Pancasila sebelum diperbolehkan kembali ke daerah asal” ujarnya.


Menyikapi soal keseriusan negara dalam melindungi korban terorisme, peneliti Medialink, Leli Qomarulaeli memandang bahwa korban terorisme berhak mengetahui kebijakan yang diambil pemerintah terkait upaya perlindungan korban.


“Ini merupakan hak mereka yang dilindungi perundang-undangan. Selain itu, keterbukaan pemerintah dalam memberikan akses informasi kepada korban justru akan menguatkan komitmen pemerintah dalam upaya itu,” kata Leli Qomarulaeli.


Di sinilah pentingnya negara hadir dan melindungi korban-korban tindak terorisme, baik korban terdampak langsung atau pun tidak langsung. Negara hadir tidak saja dari penguatan dasar hukumnya semata, namun juga memberikan perlindungan non litigasi lainnya sehingga masyarakat menjadi aman lanjutnya.


Untuk mendorong keseriusan pemerintah  dalam merealisasikan janji-janji mereka kepada korban terorisme, peran media massa pun sangat diperlukan. Selama ini pemberitaan media terkait terorisme masih seputar jumlah korban dan belum berprespektif korban.


“Dari hasil media monitoring yang dilakukan oleh Medialink, ada kecenderungan pemberitaan oleh media jika ada kaitan dengan kekerasan, ada terorisme, ada persekusi, dan hanya memberitakan tentang angka korban dan dalam kasus radikalismepun ikut berperspektif pelaku, padahal kita ingin agar korban ini tidak hanya diposisikan sebagai obyek tapi juga sebagai subyek,” jelas Direktur Eksekutif Medialini Ahmad Faisol.


Menanggapi hal tersebut, Ketua Asosasi Media Siber Indonesia (AMSI) Jakarta, Erik Somba mengimbau agar media yang tergabung dalam asosiasi ikut terklbat aktif serta mengulas isu terorisme dan isu-isu strategis lainnya tidak hanya sekedar menitikberatkan pada statistik.


“Soal terorisme, kami menghimbau semua teman-teman asosiasi untuk tetap menjadikan isu ini sebagai sebuah isu karena kita gak melihat isu itu cuma sebagai statistik,” jelas Erik Somba.


Pernyataan Erik Somba diperkuat oleh keterangan Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Adi Prasetya. Menurutnya AMSI sangat concern terhadap soal-soal pemberitaan tata laksana pengelolaan media.


“Kita terus berupaya untuk membangun media ang menyertakan pemberitaan terkait isu-isu strategis yang tidak hanya mengejar traffic tapi menomorduakan perspektif. Keduanya harus berjalan beriringan dan seirama,” kata Adi Prasetya dalam acara tersebut.(rls/red)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Terorisme dan Dampaknya Upaya Perlindungan Korban dan Peran Media Massa

Terkini

Topik Populer

Iklan