Oleh : Dadan Suhendarsyah
'Pemimpin itu haruslah orang yang sudah slesai dengan dirinya', untaian kata tersebut senantiasa muncul dalam setiap perhelatan suksesi kepemimpinan, dan menjadi bahan propaganda klaim para pendukung calon.
Penulis yakin semua warga negara setuju dengan harapan ideal tersebut, tapi yang belum sepaham adalah tentang siapakah orang yang dimaksud? Diksi 'selesai dengan dirinya' itu seperti apa?.
Mayoritas dari kita mengukur kriteria tersebut pada jumlah harta kekayaan yang dimiliki figur-calon pemimpin. Di titik inilah kita mulai mengalami penyimpangan nalar, bahkan sesat fikir.
Kenapa?
Yang dimaksud dengan 'sudah selesai dengan dirinya' yaitu mereka yang mampu mengendalikan kepentingan pribadi dan golongannya, lalu mengedepankan omongan, perbuatan, pikiran dan produk kebijakan untuk kepentingan masyarakat yang dipimpinnya.
Tidak setiap orang yang memiliki kekayaan berlimpah, bisa dipastikan sudah berhenti syahwatnya untuk terus menumpuk kekayaan. Tidak berarti orang yang sudah memiliki kekuasaan, pasti merasa puas dan tak nafsu lagi untuk melakukan ekspansi kekuasaannya. Bahkan tak ada jaminan orang yang sudah beristri lebih dari satu bisa dipastikan kehilangan selera untuk nambah istri. 'Dunia ini membuat manusia selalu dahaga dan lapar'.
Aep Saepulloh, wakil bupati yang basik-nya pengusaha sukses nan tajir dipastikan sering membantu orang lain, sudah mendermakan harta-nya untuk ratusan bahkan mungkin ribuan orang.
Acep Jamhuri, Sekda saat ini yang memulai karier dari bawah dipastikan sering juga membantu warga yang membutuhkan, meski bisa jadi tidak sebanyak H. Aep.
Achmad Jamakhsari (Jimmi) atau Gina Swara, kita ketahui dan yakini sering menginfakan tenaga, pikiran dan hartanya untuk menolong warga.
Begitu pun, tak bisa dinafikan, orang-orang politik, tokoh-tokoh masyarakat, beberapa aktivis, pastinya ada rekam jejak dalam memanusiakan manusia. Semisal sosok Sayegi Dewasena, Oma Miharja Rizki, Ketua PCNU Jaenal Arifin, Dadang S Mukhtar, Enan Supriatna, dan tentu banyak lagi figur yang memiliki kesalehan sosial, yang perbuatan baiknya tidak berkenan dipublikasi.
Kepedulian atau kesalehan sosial terebut merupakan nilai-nilai mulia yang dianjurkan pada setiap manusia. Tidak hanya tertuju pada calon-calon pemimpin pemerintahan, serta merupakan salahsatu modal dasar bagi publik untuk menilai calon-calon pemimpin. Pun, watak ataupun karakter bawaan bisa dijadikan rujukan untuk menentukan seseorang bisa dikategorikan 'sudah selesai dengan dirinya atau belum'. Bukan dari jumlah kekayaan yang dimiliki, sebab faktanya kebanyakan para pelaku pencurian uang rakyat dan rekayasa aturan, justru berasal dari kalangan kaya raya.
Saat kita dalam kondisi terbatas, maka kita butuh teman atau relasi yang berkenan membantu iuran sekolah anak, biaya berobat ke rumah sakit, membantu menyediakan kendaraan untuk besanan, mensupport dana kegiatan, membantu modal usaha, dan seterusnya. Namun warga Karawang butuh pemimpin yang dengan mulut, tangan, perasaan serta pikirannya mampu membuat legacy atau kebijakan yang mampu mengurangi cerita bangunan-bangunan sekolah roboh dan tak layak, tata kelola pemerintahan dengan serampangan, kaum ibu pedesaan terlilit Bank Emok.
Lalu orang sakit harus bersitegang dengan perawat, anak-anak muda angkatan kerja marah sebab menganggur terlalu lama, ditipu calo kerja dan hak-nya diambil para pendatang. Serta pembangunan infrastruktur yang terlalu cepat jadi prasasti karena hilang guna dan manfaatnya bagi publik.
Satu lagi, branding personal seperti kaya raya, populer, sikap ramah (humble), fashionable, cantik/ganteng, memukau di panggung ceremonial adalah bagian TIDAK PENTING dalam mengukur calon pemimpin berkualitas yang mampu memajukan Karawang dengan segala isinya.
Pengertian 'sudah selesai dengan dirinya' bukanlah faktor-faktor tersebut, sebab ini adalah Karawang, daerah yang kaya raya dan tertulis dalam lembar sejarah nasional, bukan tanah yang tandus dan daerah tertinggal. Tidak pantas mengalami kondisi seperti saat ini.
Penulis adalah Ketua Departemen Politik dan Kebijakan Publik Ormas Gerakan Militansi Pejuang Indonesia.