Oleh : Hafsah
Wanita adalah makhluk yang unik, mandiri, cerdas dan mampu berdaya secara ekonomi. Sematan lain juga tak kalah menarik bahwa wanita walaupun secara fisik lemah, namun dalam waktu bersamaan mampu menyelesaikan masalah bersamaan atau multitasking.
Kondisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi kalangan feminis. Dalam tuntutan kesetaraan yang digaungkan, tak lepas dari upaya untuk mengeluarkan perempuan dari problem yang menghimpit. Artinya, perempuan saat ini, bahkan sejak lama dalam keadaan tidak baik-baik saja.
Dalam sebuah laman instagram, tepat pada tanggal 22 Desember, Perempuan Mahardika Samarinda dan Daralead mengadakan forum dengan tema bersama membangun persatuan dan penyatuan gagasan kekuatan perempuan di Kalimantan Timur. Sekaligus memperingati Hari Gerakan Perempuan Indonesia yang ke-95 yang selalu kita peringati setiap 22 Desember.
Kegiatan ini bertujuan untuk menyatukan dan menghasilkan rencana tindak lanjut yang relevan dan sesuai dengan situasi perempuan saat ini.
Peringatan Hari Ibu (PHI) sebagai momen penting pergerakkan perempuan Indonesia yang diperingati setiap tanggal 22 Desember, bukan sekadar “mother’s day,” tetapi memiliki akar sejarah yang bermula dari kongres Perempuan Pertama pada tahun 1928 di Yogyakarta.
Presiden Soekarno kemudian menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959.
Perempuan dalam Pusaran Demokrasi
Dalam konstelasi politik, kaum hawa dipandang sebagai tambang berharga untuk menopang percaturan pemilu dalam demokrasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, perempuan diberi kesempatan dalam parlemen untuk memegang tampuk jabatan perlambang keadilan dalam sistem pemerintahan demokrasi.
Selebihnya, mereka juga diarahkan sebagai penggerak ekonomi, bahkan menjadi motor penggerak menjelang pemilu pilpres (Pemilihan Presiden) di tahun 2024 mendatang.
Selama kurun waktu 95 tahun, upaya memerdekakan perempuan dari keterpurukan akibat rongrongan hidup dan kemajuan modernisasi tak kunjung membuahkan hasil. Wanita kini menjadi sorotan karena potensi yang dimiliki seolah tidak maksimal digarap. Faktanya, perempuan dimanapun masih menjadi tumbal dari kemajuan zaman.
Penggiat HAM dalam demokrasi tak pernah lepas memantau perkembangan yang terjadi. Dalam melihat persoalan wanita sebagai korban peradaban, mereka menempuh cara dengan menuntut keadilan tanpa melihat persoalan secara utuh. Intinya, mereka memandang bahwa permasalahan perempuan hanya berpusat pada ketidakadilan dan kelemahan perlindungan hukum.
Persoalan kemudian membulat dengan memberikan solusi yang pragmatis. Kemasan manis pemberdayaan ekonomi menghipnotis sebagian besar kaum hawa. Tidak dipungkiri, masalah ekonomi yang menghimpit turut menjadi penyebab persoalan ini karena tingginya angka pengangguran yang dialami oleh sebagian besar masyarakat.
Ketimpangan ekonomi yang terjadi akibat pengelolaan sumber daya alam (SDA) diserahkan sepenuhnya kepada korporasi. Padahal SDA yang melimpah mampu mensejahterakan rakyat tanpa memaksa perempuan turut andil untuk mencari nafkah. Hasilnya, perempuan akan tetap menjadi pemeran utama dalam industri globalisasi tanpa memikirkan dampak buruknya menimpa kaum hawa secara keseluruhan.
Belum lagi dampak buruk lain silih berganti menimpa generasi akibat lalainya peran seorang ibu. Angka perceraian terus meningkat karena berbagai faktor, kenakalan remaja dan narkoba pun semakin marak.
Bila sudah begini, akankah lahir generasi seperti yang diharapkan? sementara penanggung jawab urusan mereka beralih tugas sebagai pion penggerak dalam ranah umum. Hidup anak sebagai calon penerus harapan bangsa harus pupus akibat lemahnya mental sebagai generasi pejuang.
Siapakah yang bertanggung jawab dengan lemahnya mental anak bangsa? Tentu tuduhan berbalik kepada orang tua terutama kepada ibu. Hal ini tentu menjadi dilema, disisi lain wanita diseret agar eksis diluar, sementara tugas sebagai ibu tak kalah menyita perhatian dan waktu. Lalu, dengan percaya diri kita berharap akan lahir calon generasi penerus yang mandiri dan potensial.
Momentum hari ibu sejatinya menjadi titik balik untuk menyadarkan perempuan akan fitrahnya sebagai pengurus rumah tangga yang mampu berkiprah di tengah masyarakat tanpa tendensi pemberdayaan ekonomi. Beginilah cara kapitalisme memberi posisi kepada perempuan, segala jalan ditempuh dengan kemasan pemberdayaan, yang penting menghasilkan materi.
Pemberdayaan Perempuan dalam Islam
Dalam Islam, posisi perempuan sangat dimuliakan. Hal ini tercermin dari salah satu hadist Rasulullah Saw: "Seseorang datang kepada Rasulullah Saw dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi Saw, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi Saw, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi Saw menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR Bukhari dan Muslim)
Begitu mulianya perempuan dalam Islam, sehingga haknya harus dipenuhi oleh orang tua, jika telah bersuami maka kewajiban jatuh kepada suami, ketika ia menjadi janda karena suatu sebab, maka kewajiban nafkah dipenuhi oleh kerabat laki-laki, dan terakhir oleh negara sebagai bentuk riayah kepada rakyat.
Dalam rumah tangga, Islam mewajibkan perempuan mengatur urusan rumah tangga sebagai tanggung jawab dan laki-laki bertugas sebagai qowwam (pemimpin) dan bertugas mencari nafkah. Peran perempuan di tengah masyarakat tetap dibutuhkan tanpa melalaikan tugas utamanya sebagai Ummu warobbatul bait (Pengurus Rumah Tangga). Untuk mencapai rumah tangga yang sakinah mawadah, maka setiap keluarga butuh support sistem yang ideal dari negara yang mampu mensejahterakan.
Sistem ekonomi Islam sangat ideal diterapkan untuk kesejahteraan rakyat, terutama dalam pengelolaan SDA agar tidak jatuh ke pihak tertentu. Maka, negara akan mengatur kepemilikan individu, masyarakat maupun negara agar tidak salah dalam regulasi.
Setiap kepala keluarga, diberikan sumber mata pencaharian sesuai dengan potensinya. Negara memastikan perusahaan atau industri-industri membuka lapangan pekerjaan untuk para laki-laki, bukan untuk perempuan. Kecuali untuk bidang pekerjaan tertentu. Hal itu pun dilakukan sesuai dengan fitrah perempuan, tanpa melalaikan tugas utamanya dan tetap menjaga kehormatannya. Begitulah sistem Islam memuliakan perempuan dan memfungsikan sesuai dengan tuntunan syara, bukan tuntutan materi.
Wallahu a'lam bisshowab
Penulis adalah aktivis dan Pemerhati Masalah Umat di Kalimantan Timur