Kegiatan penyampaian hasil riset Lembaga Medialink di Jakarta (foto: ist) |
JAKARTA - Dampak pemanasan global yang semakin meningkat telah mendorong Indonesia untuk mengambil langkah konkret dalam mengatasi perubahan iklim.
Salah satu mekanisme yang diandalkan adalah skema Reduction Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), sebuah inisiatif global untuk melibatkan negara berkembang dalam menjaga hutan mereka dari kerusakan.
Indonesia, melalui komitmen pada Konferensi Para Pihak (COP), telah menegaskan niatnya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dengan Intended Nationally Determined Contribution (NDC).
Dalam dokumen NDC pertama pada tahun 2016, Indonesia menetapkan target ambisius sebesar 29% tanpa bantuan internasional dan 41% dengan bantuan internasional pada tahun 2030. Target ini meningkat menjadi 31% pada tahun 2020, sejalan dengan upaya negara-negara maju di dunia.
Seorang peneliti dari Medialink, Rahmat Lahangi, menyampaikan bahwa mencapai target NDC membutuhkan dukungan finansial yang signifikan.
"Program ini dalam operasionalnya membutuhkan pendanaan yang besar, dan itu butuh komitmen semua pihak," ujarnya di Jakarta pada Rabu, 6 Maret 2024.
Pendanaan untuk program perubahan iklim bersumber dari pendanaan publik dan non-publik. Pendanaan publik melibatkan APBN, BLU BPDLH, green Sukuk, BUMN (PT SMI), APBD, dan bantuan internasional dari lembaga seperti Green Climate Fund (GCF), Global Environment Facility (GEF), dan Adaptation Fund (AF), serta bank pembangunan multilateral.
Namun, lanjutnya, kebutuhan pendanaan perubahan iklim di Indonesia mencapai Rp3,7 ribu triliun, setara dengan 7-11 persen APBN tahun 2022.
Data Kementerian Keuangan mencatat bahwa sumber pendanaan tersebut belum mencakup dukungan dari sektor non-publik seperti pembiayaan sektor jasa keuangan, investasi swasta, green bonds, filantropi, dan corporate social responsibility (CSR).
Pendanaan perubahan iklim di Indonesia diterapkan di propinsi Jambi, yang mendukung capaian NDC Indonesia hingga tahun 2030. Selain dukungan dunia internasional, program ini juga mendapat pendanaan melalui skema blended financing dari Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan dana CSR dari Bank Jambi.
Rahmat menyoroti potensi masalah dalam pengelolaan dana iklim, terutama kekurangan lembaga yang secara khusus menangani pendanaan perubahan iklim di tingkat daerah.
"Ke depan ini harus menjadi agenda pembahasan semua pihak terkait lembaga yang concern di isu ini,” jelas Rahmat.
Fungsi lembaga yang diusulkan Rahmat melibatkan pengelolaan pendanaan perubahan iklim di daerah untuk seluruh sektor penurunan emisi GRK.
Saat ini, lembaga di daerah hanya dibentuk untuk menangani proyek tertentu di sektor kehutanan, menyebabkan minimnya akuntabilitas dan transparansi data pendanaan serta pengukuran capaian indikator kinerja di semua sektor dalam penanganan penurunan emisi GRK di tingkat daerah.(**)