Iklan

Iklan

Efektifkah UU KIA Membuat Ibu Lebih Sejahtera?

BERITA PEMBARUAN
18 Juni 2024, 18:21 WIB Last Updated 2024-06-18T11:21:38Z


Oleh : Lisa Oka Rina


Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memberi merespons positif pengesahan Undang-Undang (UU) Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan (UU KIA) oleh DPR dalam rapat paripurna Selasa, 4 Juni 2024 lalu.


Ketua Departemen Kajian Perempuan, Anak dan Keluarga BPKK DPP PKS Tuti Elfita, mengatakan partainya menekankan pengesahan UU KIA berkaitan dengan paradigma penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian integral dari keluarga.


"Kesejahteraan ibu dan anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keluarga, dan keterlibatan ayah dalam memberikan perlindungan serta pendampingan adalah kunci untuk mencapai kesejahteraan yang optimal," kata Tuti dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (9/6/2024).


Tuti menyampaikan, penambahan kata ayah di UU KIA dalam kewajibannya terhadap keluarga dan peran negara melalui lembaga asuhan anak juga menjadi poin penting yang diapresiasi oleh PKS.


Oleh sebab itu, ujar Tuti regulasi cuti melahirkan dengan ketentuan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya jika terdapat kondisi khusus yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter amat diapresiasi PKS.


"PKS mengapresiasi berbagai aspek UU KIA, termasuk pengakomodasian usulan dan aspirasi masyarakat yang kaya, penyertaan asas keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Maha Esa," kata Tuti. (Liputan6news.com, 4 juni 2024).


Pengesahan RUU KIA yang sudah menjadi UU, dianggap akan membawa angin segar bagi perempuan untuk dapat tetap berkarir karena mendapat cuti dan tetap bisa tenang bekerja.


Ini sejatinya pembiusan secara halus bahwa bekerja menjadi kewajiban bagi perempuan, dan semakin menguatkan opini dan penilaian/standarisasi yang keliru dan sesat, tentang perempuan produktif adalah perempuan yang menghasilkan uang/bekerja, dan bila perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga itu artinya perempuan yang tidak produktif.


Di sisi lain, cuti 6 bulan tidaklah cukup untuk mendampingi anak karena anak membutuhkan pengasuhan dan pendidikan terbaik dari ibu mulai dari usia 0 hingga mumayyiz, yakni kisaran usia 7 tahun.


Di sisi lain, yang memaksa perempuan harus bekerja, adalah tingginya harga kebutuhan pokok dan biaya kehidupan seperti beras, BBM, kesehatan, keamanan, bahkan pendidikan.


Bahkan itu semua terjadi ketimpangan dan tidak terdistribusi dengan baik ke seluruh lapisan masyarakat akibat lalainya negara sebagai fasilitator dalam mengurusi urusan masyrakat.


Semua kesemerawutan ini adalah buah pahit dari kehidupan sekuler, yang lahir dari ideologi kapitalisme yang masih diterapkan dan dipakai di dunia dan di kehidupan kita hingga hari ini.


Kapitalisme-sekuler yang berorientasi dan menilai kebahagiaan adalah dengan banyaknya kepuasan material, sehingga tidak ada nilai pahala dan dosa.


Kefitrahan insaniah pun juga dinilai secara materi, karena sudah tersingkirkannya agama dalam kehidupan saat ini. Sudut pandang ini benar-benar berbahaya dan bertentangan dengan fitrah manusia.


Hal ini sungguh jauh berbeda dengan konsep kehidupan yang berlandaskan aturan-aturan Allah, yakni syariat islam.


Konsep kehidupan islam yang sudah pernah terbukti melahirkan peradaban yang tinggi dan mulia selama lebih dari 1300 tahun (13 abad), telah mampu menjamin kesejahteraan, keadilan ekonomi, bahkan menjaga fitrah perempuan sebagai ibu pendidik generasi, yang melahirkan generasi islam yang tangguh serta menjaga kestabilan peran ibu sebagai pengatur rumah tangga agar keluarganya dan dirinya terhindar dari api neraka.


Sebagaimana Allah perintahkan dalam surah At Tahrim ayat 6 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan".


Terkait bekerja, hukum bekerja bagi perempuan adalah mubah/boleh, bukan wajib. Yang wajib bekerja adalah para lelaki yang menjadi mahrom perempuan tersebut karena terkait jalur penafkahan yang disyariatkan Allah.


Allah telah menyediakan pahala besar kepada para lelaki karena sudah bersusah payah dalam bekerja menjemput rezeki halal untuk menafkahi keluarganya.


"Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa bekerja untuk anak dan istrinya melalui jalan yang halal, maka bagi mereka pahala seperti orang yang berjihad di jalan Allah." (HR Bukhari).


Dalam masalah pekerjaan, Rasulullah SAW yang pada masa itu menjadi kepala negara, telah menunjuki seorang laki-laki agar membeli tali dan kapak, dan agar alat-alat itu digunakan untuk mencari kayu bakar, lalu kayu bakar itu dijual kepada masyrakat, daripada harus meminta-minta kepada masyrakat, lalu sebagian mereka memberinya dan sebagian lain menolaknya.


Dengan demikian pemberian solusi atas masalah pekerjaan adalah salah satu kemaslahatan bagi kaum muslim yang harus ditunaikan oleh penguasa/negara.


Terkait distribusi kekayaan yang merata kepada seluruh masyarakat hal ini karena Allah telah memerintahkannya "...supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian". (Q.S al-Hasyr ayat 7).


Beberapa aturan ekonomi islam yang wajib diamalkan pemimpin kaum muslimin agar tercipta keseimbangan ekonomi diantaranya dengan menyuplai harta negara kepada rakyat yang diambil dari baitul mal baik harta bergerak maupun harta yang tidak bergerak. Namun negara tidak boleh menarik pajak dalam rangka mewujudkan keseimbangan tersebut.


Negara juga wajib menggunakan sistem mata uang emas dan perak, melarang penimbunan baik makanan, emas ataupun perak, menyuplai bahan makanan dari wilayah lain sehingga harga barang tetap stabil dan lainnya.


Di sisi lain, negara menjalankan sistem pendidikan berbasis islam, untuk terus membentuk dan mengokohkan pola pikir islam, bahwa kita adalah hamba Allah, menjalani ķodrat sebagai perempuan adalah untuk mendapatkan pahala dan ridho Allah, sehingga berkolerasi dengan pola jiwa muslim, bahwa peradaban suatu kaum bergantung kepada kekuatan dan kemampuan ibu sebagai pendidik utama generasi sehingga para perempuan muslimah bangga dengan amanah tersebut.


Wallahu'alam bisshowwab


Penulis adalah Pemerhati Kebijakan Publik di Kalimantan Timur

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Efektifkah UU KIA Membuat Ibu Lebih Sejahtera?

Terkini

Topik Populer

Iklan