Oleh : Djumriah Lina Johan
Ruang hidup dimaknai sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Manusia hidup di muka bumi ini pastinya membutuhkan ruang hidup yang nyaman, di antaranya lahan yang memadai, air dan udara yang bersih, iklim yang kondusif, dan tersedianya infrastruktur yang layak berupa jalan, serta semua sarana pemenuhan kebutuhan di bidang pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Ruang hidup merupakan sumber daya alam yang harus dikelola bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, 'Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'.
Namun, apalah jadinya ketika ruang hidup yang menjadi kebutuhan vital rakyat ini menjadi sesuatu yang dirampas dan menjadi konflik berkepanjangan?
Hal ini sebagaimana yang terjadi pada megaproyek IKN. Dilansir melalui pemberitaan online Kaltim Today pada tanggal 28 Mei 2024, ratusan massa yang tergabung dalam 'Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU' membanjiri halaman Kantor ATR/BPN Penajam Paser Utara (PPU), Selasa (28/5/2024). Massa tersebut terdiri dari warga empat desa lingkar Ibu Kota Nusantara (IKN), yakni Pemaluan, Rico, Maridan, dan Telemow. Aksi massa ini bertujuan menuntut kejelasan dan keadilan atas hak tanah mereka yang terdampak oleh proyek IKN.
Tuntutan utama dari aksi ini adalah pencabutan status Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan warga, perubahan status lahan dari hak pakai menjadi hak milik, penghapusan Bank Tanah dari PPU, transparansi dalam administrasi dan pencatatan pertanahan, serta penetapan biaya administrasi yang jelas dalam mengurus legalitas lahan dan berbagai tuntutan lainnya.
Aksi ini merupakan lanjutan dari demonstrasi yang dilakukan pada Rabu (22/5/2024) lalu. Dengan massa yang lebih besar, warga mendesak pihak ATR/BPN PPU untuk segera merespons tuntutan mereka.
Saat ditemui di tengah aksi, Koordinator Gerakan Solidaritas Masyarakat Kabupaten PPU, Ibrahim, menyoroti kinerja Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) yang dianggap tidak efektif dan tidak berpihak pada masyarakat.
Berdasarkan konflik tersebut, mengindikasikan bahwa negara tidak ubahnya sebagai penyedia karpet merah bagi investor ‘para kapitalis’, baik asing maupun lokal. Atas nama pembangunan, perampasan hak tanah dan lahan rakyat menjadi dalih pembenaran bagi penguasa untuk mengakomodasi kepentingan para investor. Penguasa lebih memihak kepentingan para investor dibandingkan dengan kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Kondisi ini wajar terjadi dalam sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini mengakomodasi kerakusan para oligarki dan pemilik modal. Tersebab ulah oligarki yang menyatu dengan sistem politik demokrasi, terciptalah berbagai kebijakan yang membawa penderitaan bagi rakyat.
'Perselingkuhan' oligarki-demokrasi sebenarnya sebuah keniscayaan dalam sistem demokrasi sekuler kapitalisme. Oligarki bisa berkuasa membutuhkan demokrasi, sedangkan demokrasi akan tetap eksis dengan peran oligarki. Oligarki dan demokrasi keduanya akhirnya bersimbiosis mutualisme.
Wajar juga jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan formal. Demokrasi menghasilkan kezaliman kepada rakyat, termasuk perampasan ruang hidup rakyat. Mirisnya, negara dan penguasanya, justru berposisi sebagai agen bagi para oligarki. Kebijakan-kebijakan negara malah berpihak untuk memenuhi kepentingan para oligarki.
Berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal, sistem Islam benar-benar menutup celah pintu berbagai kezaliman, termasuk perampasan ruang hidup.
Syariat Islam mengakui kepemilikan individu atas tanah sebagai hak milik, hak pakai, serta hak untuk mewariskan. Dengan tanah yang dimilikinya, individu akan mudah membangun rumah untuk tinggal sesuai tuntutan kehidupan keluarga muslim, sekaligus menjadi sumber ekonomi untuk mencari penghidupan (nafkah).
Dalam Islam, tanah mati yang sudah dihidupkan oleh seseorang, haram hukumnya bagi individu maupun negara untuk merebut darinya. “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati yang telah dihidupkan) tersebut adalah miliknya.” (HR Imam Bukhari dari Umar bin Khaththab).
Syariat Islam juga menetapkan kepemilikan umum sebagai kepemilikan bersama, termasuk dalam hal ini adalah hutan, pulau, dan bahan tambang (deposit besar).
Pembangunan di dalam Islam tidak melibatkan investasi asing yang justru akan membahayakan bagi negerinya. Kebijakan dan gagasan yang makin mengukuhkan dominasi asing atas kaum muslim pun jelas diharamkan dalam Islam. Dengan tegas Allah Swt. berfirman, “Sekali-kali Allah tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum mukmin.” (QS An-Nisa’: 141).
Pembangunan semata-mata diambil dari dana baitulmal. Dengan pengaturan yang sempurna ini, kesejahteraan bagi semua rakyat akan terjamin.
Pengaturan kepemilikan berbasis syariat Islam akan menjauhkan dari konflik horizontal (sesama rakyat) maupun konflik vertikal (rakyat dan penguasa).
Dalam Islam, seorang kepala negara (khalifah) adalah junnah (perisai) bagi rakyatnya. Ia akan melindungi rakyat dari berbagai gangguan dan kerusakan yang berasal dari pihak asing. Ia tidak akan membiarkan pihak asing merampas sejengkal pun tanah rakyat untuk kepentingan asing.
“Sesungguhnya seorang imam itu (laksana) perisai. Ia akan dijadikan perisai, orang-orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya ia akan mendapatkan pahala. Akan tetapi, jika ia memerintahkan yang lain, ia juga akan mendapatkan dosa/azab karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Sudah saatnya umat Islam menerapkan syariat Islam secara kafah dan sempurna agar semua konflik terselesaikan, perampasan ruang hidup pun tidak akan terjadi. Wallahu'alam.
Penulis adalah aktivis Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban Kaltim