Oleh: Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., M.M.
Kita sering mendengar dan menyaksikan bagaimana kasus-kasus pencemaran nama baik khususnya tuduhan terhadap wartawan, baik yang terjadi di ibu kota maupun di daerah-daerah masih bermunculan.
Melihat fenomena seperti itu penulis merasa khawatir bahwa seakan wartawan dijadikan musuh bersama (momok yang menakutkan) bagi masyarakat tertentu, para elit politik dan oknum pejabat yang bermasalah dengan kinerjanya.
Sehingga sebagian insan pers ada yang merasa ketakutan dalam menyampaikan pemberitaan yang aktual dan aktual karena seakan terganjal oleh ancaman pasal-pasal karet dalam UU ITE seperti panghinaan, merendahkan, fitnah, perbuatan yang tidak menyenangkan, ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan lain sebagainya.
Disini penulis sengaja akan memfokuskan secara khusus tentang tuduhan pencemaran nama baik terhadap wartawan yang terus terjadi dimana-mana.
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pers merupakan salah satu empat pilar demokrasi sehingga dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum sebagaimana tertuang dalam pasal 8 UU Pers.
Sedangkan pencemaran nama baik adalah tindakan yang termasuk dalam kategori penghinaan, merendahkan, ataupun menyebarkan informasi yang tidak benar terkait reputasi seseorang, kelompok, ras, agama, ataupun golongan tertentu.
Pencemaran nama baik merupakan salah satu bentuk khusus dari perbuatan melawan hukum. Istilah yang dipakai mengenai bentuk perbuatan melawan hukum ini ada yang mengatakan pencemaran nama baik, namun ada pula yang mengatakan sebagai penghinaan.
Kenapa tuduhan pencemaran nama baik (pasal karet) terhadap wartawan sering terjadi, Penulis menggaris bawahi bahwa ada ketidak-jelasan batasan definisi pencemaran nama baik dalam UU ITE, masih ambigu dan multitafsir, serta bersifat lentur seperti karet, yang mudah dimanfaatkan untuk menjerat tindakan-tindakan yang bersifat subjektif dan berpotensi pada penyalahgunaan makna dari ketidak jelasan definisi dan multitafsir tentang pencemaran nama baik.
Dengan ketidakjelasan definisi pasal ini dapat memunculkan perbedaan pendapat dan bahkan kadang disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menekan atau menyudutkan orang lain tanpa alasan yang jelas.
Sangat memungkinkan juga dapat memberi kesempatan bagi oknum penegak hukum untuk menafsirkan pasal tersebut secara subjektif, yang berpotensi mengakibatkan keterlibatan orang-orang yang mengkritik pemerintah atau tokoh publik.
Begitu pula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau politik yang tidak benar. Bahkan dapat digunakan untuk memadamkan kritik dan mempersempit ruang demokrasi serta salah satu cara untuk membungkam insan pers nasional.
Timbul sebuah pertanyaan, bagaimana kalau ternyata pemberitaan tersebut tidak bisa dibuktikan sebagaimana tuduhan pencemaran nama baik, justru sebaliknya bahwa pemberitaan tersebut benar adanya dan terjadi, karena dari hasil investigasi wartawan memiliki data yang lebih akurat.
Maka jelaslah bahwa si pelapor telah malakukan fitnah terhadap wartawan (terlapor) atas tuduhan pencemaran nama baik. Sedangkan fitnah adalah perbuatan melawan hukum dengan hukuman 4 (empat) tahun penjara, tertuang dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP tentang fitnah, berbunyi; “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”
Didalam UU Pers Pasal 45 ayat 6 pun telah diterangkan bahwa dalam hal perbuatan tentang tuduhan pencemaran nama baik tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan bertentangan dengan apa yang diketahui padahal telah diberi kesempatan untuk membuktikannya, maka pelapor dapat dipidana karena telah melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 750.000.00O,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Kesimpulan:
Dari uraian diatas penulis berpendapat, antara lain:
1. Bahwa tuduhan pencemaran nama baik terhadap wartawan akan menjadi blunder, si pelapor telah melakukan kesalahan fatal, dimana bisa dituntut balik oleh tergugat/terlapor atas tuduhan fitnah dengan dijerat 4 (empat) tahun penjara dan atau denda 750 juta.
2. Ada yang harus dipahami bahwa UU Pers merupakan undang-undang Lex specialis derogat legi generali, yaitu asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Artinya bahwa karya jurnalistik (pemberitaan di media) tidak bisa dihukumi oleh UU ITE dan KUHP, penanganan wartawan atas karyanya harus diatasi hanya oleh UU Pers tersendiri, dimana pihak yang merasa dirugikan atas pemberitaan dari wartawan bisa dilakukan dengan hak koreksi dan hak jawab sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 11 dan 12 UU Pers No. 40/ 1999.
Penulis adalah Dosen dan Pemerhati Medsos.