Oleh : Jaa Maliki
Pondok Pesantren Al-Burdah merupakan salah satu Pesantren yang berlokasi di Jalan Syekh Quro, Dusun Kecemek, Desa Bayur Kidul, Kecamatan Cilamaya Kulon, Kabupaten Karawang. Pesantren ini secara khusus mendidik santri dari kalangan anak yatim/piatu dan beberapa santri dari kalangan keluarga kurang mampu (dhu’afa).
Sebagaimana santri di pesantren lainnya, para santri di pesantren Al-Burdah ini didorong oleh keinginan yang kuat untuk tertanamnya akhlaq karimah dan mendapatkan pendidikan ilmu pengetahuan Islam.
Pesantren ini didirikan pada tahun 2001 yang merupakan pengembangan rintisan pengajian anak-anak di kampung Kecemek dan sekitarnya pada Tahun 1990, didirikan oleh KH. Drs. Aning Amrullah alumni Pondok Pesantren Al-Mardhiyah Cileunyi Bandung.
Kiai Aning begitu orang-orang memanggilnya, mulai mengajar anak-anak dan masyarakat sejak usia masih remaja di kampungnya sendiri, kampong Jarong Desa Kiara, dan karena kebaikan hati dan pengetahuan keislamannya telah membuatnya menjadi tokoh masyarakat.
Dalam pengembangan pesantren dan mengajar santrinya, Kiai Aning dibantu oleh anak tertua dari empat bersaudara, Dr. (cand) Abdul Muhyi, yang juga merupakan dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Karawang.
Meskipun kesederhanaan mewarnai kehidupan Pesantren Al-Burdah, namun Pendidikan pesantren tidaklah sederhana, karena pelajaran yang diajarkan terdiri dari bahasa arab dasar, tata bahasanya, fiqh dan akidah.
Di pesantren Al-Burdah ini, Kiai Aning dan putranya, Abdul Muhyi memberikan pelajaran-pelajaran sebagaimana pesantren salaf pada umumnya. Bahkan Abdul Muhyi, merupakan pribadi yang concern akan masalah-masalah keummatan dengan ditunjukan melalui karya ilmiahnya yang sudah diterbitkan dan beredar luas di lingkungan kampus dan akademisi.
Sementara Kiai Aning, selain sebagai pengasuh Pesantren Al-Burdah, juga sebagai pengasuh 1526 anak yatim/piatu yang tersebar di delapan kecamatan Kabupaten Karawang.
Kiai Aning juga, seringkali menerima undangan untuk berceramah, termasuk menjadi penceramah pada Haul Akbar kedua orang tua Bupati Karawang, H. Aep Syaepuloh, Sabtu, 20 Juli 2024.
Tepatnya pada hari Senin, 29 Juli 2024, penulis silaturahmi sekaligus tabarukan ke kediaman Kiai Aning Amrullah di daerah Cilamaya Kulon untuk meminta pendapat beliau terkait Jama’ah Nahdlatul Ulama dalam pusaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Karawang 2024.
Kediaman Kiai Aning, letaknya sama seperti pondok pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama berada dalam satu komplek dengan asrama/kobong santri. Ketika menerima penulis, Kiai Aning didampingi putranya, Abdul Muhyi untuk berbincang sambil duduk lesehan di serambi rumah depan kobong para santri Al-Burdah.
Menurut pandangan Kiai Aning, memahami Nahdlutul Ulama harus diletakan pada tradisi dan norma yang menjadi pegangan pesantren, karena hubungan Nahdlatul Ulama dengan pesantren itu tidak bisa dipisahkan, walaupun dalam sisi institusi berbeda.
Nahdlatul Ulama merupakan jam’iyah yang dibatasi oleh regulasi perkumpulan, seperti Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan peraturan-peraturan lainnya. Sementara pesantren yang mempunyai otoritas penuh adalah kiai dan posisi terhormat kiai sebagai sumber pengetahuan agama dalam kehidupan masyarakat.
Antara Jam’iyah Nahdlatul Ulama dengan pesantren mempunyai otonomi masing-masing, sehingga suatu saat bisa berdampingan, namun pada saat tertentu bisa mengambil sikap yang berbeda. Kendatipun demikian antara Nahdlatul Ulama dengan pesantren bersebrangan, tetapi keduanya disatukan oleh kultur, norma dan tradisi yang sama.
Dalam konteks politik praktis, Kiai Aning menegaskan bahwa, agar Nahdlatul Ulama tidak terjebak menjadi kekuatan partisan, rujukannya satu; Nahdlatul Ulama secara organisatoris tidak mengikatkan diri dengan kekuatan politik praktis.
"Apa bila institusi Nahdlatul Ulama melibatkan diri menjadi bagian dari kekuatan politik praktis, ini akan melahirkan perlawanan 'diam-diam' dari gerakan kultural sebagai reaksi atas Nahdlatul Ulama struktural sangat mudah tergoda dengan kehidupan politik," tegas Kiai Aning.
Selanjutnya Kiai Aning memaparkan; Salah satu ciri suatu masyarakat modern adalah individualistik, pragmatis, dan rasional dalam menentukan arah pilihan bentuk kehidupan sosial ataupun ekonomi, termasuk dalam menentukan pilihan politik. Berbeda sekali pada fase masyarakat agraris, warga Nahdlatul Ulama lebih banyak menggantungkan fatwa dan seruan kiai di dalam menentukan aspirasi politiknya.
Arus moderinisasi yang begitu dahsyat ini berimplikasi besar pada tataran kehidupan warga Nahdlatul Ulama, maka tidak heran jargon yang muncul di kalangan warga Nahdlatul Ulama dalam menentukan pilihan politiknya 'Agama Manut Kiai, Politik Manut Hati'. (meminjam istilah dari laporan Majalah Gatra 17 Juli 2004).
Mengakhiri perbincangan dengan penulis, Kiai Aning berpesan jangan sampai terjadi jurang pemisah antara Nahdlatul Ulama kultural dengan Nahdlatul Ulama struktural dalam memahami peta politik pada Pemilihan kepala daerah di Karawang tahun 2024.
Urusan politik adalah hak setiap warga Nahdlatul Ulama untuk dipilih dan memilih, dan tentunya pilihan tersebut sesuai dengan harapan dan kepentingan masing-masing warga Nahdlatul Ulama.
Sementara Nahdlatul Ulama secara organisasi harus menjaga syahwat politik praktis dan konsisten pada arus besar Khittah 1926. Sebagai catatan akhir perbincangan, Kiai Aning mewanti-wanti agar Perkumpulan Nahdlatul Ulama untuk fokus pada pembangunan umat yang terkait dengan kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan pondok pesantren. Artinya harus ada kesungguhan untuk membangun solidaritas dan jaringan fungsional lewat agregasi dan advokasi kepentingan jama’ah Nahdlatul Ulama secara lintas kultural dan struktural.
Penulis adalah Presidium Gerakan Bintang Sembilan