KARAWANG - Sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi pada hari Kamis, 31 Oktober 2024, mengabulkan sejumlah gugatan terkait Undang-Undang Cipta Kerja yang diajukan oleh kelompok buruh.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 168/PUU-XXI/ 2023 memberikan 21 amar perbaikan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun dalam 21 amar putusan tersebut ada beberapa putusan mengenai upah, yaitu:
1. Upah harus mencakup pemenuhan kebutuhan hidup layak pekerja dan keluarganya.
Dengan kutipan asli berbunyi:
“termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”
2. Kebijakan pengupahan harus melibatkan dewan pengupahan daerah.
Kutipan asli berbunyi:
“dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”
3. Struktur dan skala upah wajib dibuat proporsional
Kutipan asli berbunyi:
“Struktur dan skala upah yang proporsional”
4. Gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral di provinsi dan bisa di kabupaten/kota.
Kutipan asli berbunyi:
“termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”
5. Indeks ekonomi menjadi acuan untuk kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kutipan asli berbunyi:
“indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”
Dari beberapa putusan mengenai upah buruh tersebut diatas, pada point 4 disebutkan mengenai upah telah memutuskan bahwa mekanisme kenaikan upah buruh/pekerja di kembalikan kepada dewan pengupahan disetiap daerah.
Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar……”
Menyikapi hal tersebut, Koordinator Aliansi Buruh Bekasi Melawan (BBM), Sarino, SH, MH, menegaskan bahwa putusan bersifat final dalam frasa tersebut menegaskan bahwa sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan, sebab proses peradilan di MK merupakan proses peradilan yang pertama dan terakhir.
"Artinya setelah mendapat putusan, maka tidak adal lagi forum peradilan yang dapat ditempuh, dengan demikian putusan MK juga tidak dapat dan tidak ada peluang untuk mengajukan upaya hukum dan upaya hukum luar biasa," tegasnya.
Sarino juga menjelaskan, ditambah mengenai penjelasan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula bahwa kekuatan hukumnya mengikat (final and binding).
"Dari penjelasan tersebut sudah jelas bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding yang artinya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi mencakup kekuatan hukum yang mengikat (final and binding). Jadi final and binding artinya adalah tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut," terang Sarino.
Kemudian, lanjut Sarino, setelah adanya putusan MK, terdapat kertas posisi yang disampaikan oleh Apindo yang meminta agar besaran kenaikan upah 2025 tetap menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) No.51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan
"Dengan begitu, jika Apindo dan pihak pemerintah Kabupaten Bekasi yang ada di dewan pengupahan tetap memaksakan kehendak untuk memakai Peraturan Pemerintah (PP) No.51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam penetapan kenaikan upah tahun 2025, karena bertentangan dengan sifat putusan MK yang bersifat final dan binding yang artinya, apabila Apindo dan pemerintah bersikukuh melakukannya maka itu bertentangan dengan undang-undang," bebernya lagi.
Masih kata Sarino, negara kita adalah negara hukum, sudah seyogyanya bagi kita semua rakyat Indonesia wajib menghormati setiap putusan pengadilan dan taat serta tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi tidak ada alasan bagi Apindo dan pemerintah untuk tidak mentaati hukum yang ada. Apabila unsur Apindo dan pemerintah memaksakannya artinya mengajari untuk melanggar hukum dengan tidak melaksanakan putusan MK.
"Menyikapi hal tersebut maka bagi kaum buruh khususnya di Kabupaten dan Kota Bekasi sudah sepantasnya apabila melakukan aksi huru hara mogok daerah, untuk menentang dan memberikan jawaban pada Apindo dan pemerintah, apabila Apindo dan pemerintah tetap memaksakan Peraturan Pemerintah (PP) No.51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dalam penetapan kenaikan upah yang tidak taat terhadap hukum yang berlaku di NKRI," tegas Sarino, S.H., M.H., kepada media ini, Senin (04/11/2024).[Ari]