Seminar dan Pelatihan Cek Fakta yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten, Rabu 11 Desember 2024.(foto: ist) |
SERANG - Kemajuan teknologi dan internet telah mengubah cara masyarakat mendapatkan dan berbagi informasi. Namun, kemudahan ini juga membawa tantangan besar berupa maraknya hoaks, miss informasi, dan disinformasi. Indonesia, dengan jumlah pengguna internet yang sangat besar, menjadi salah satu negara yang terdampak signifikan.
Penelitian MIT pada 2018 menunjukkan bahwa hoaks menyebar enam kali lebih cepat dibandingkan berita fakta, terutama karena sifatnya yang sering mengejutkan dan menarik perhatian. Generasi Z, sebagai digital native, menjadi kelompok yang paling rentan terpapar dan berpotensi menyebarkan hoaks, khususnya di kalangan mahasiswa.
Dalam Workshop dan Pelatihan Kelas Cek Fakta yang diselenggarakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten, Ahma Faisol menyebutkan bahwa mahasiswa dapat menjadi benteng ampuh dalam menghadang arus berita palsu.
"Kampus dan mahasiswa harus difungsikan sebagai agent of change sekaligus agen anti-hoaks, sehingga menciptakan generasi muda yang menjadi trendsetter dalam literasi digital," tegas Faisol.
Menurut Faisol, ada beberapa faktor yang membuat Generasi Z rentan terpapar hoaks, baik secara sosial maupun psikologis. Kurangnya literasi digital menjadi salah satu penyebab utama, karena mereka belum mampu memverifikasi informasi atau membedakan berita palsu dari fakta, meskipun sangat mahir menggunakan teknologi.
Selain itu, karakter Fear of Missing Out (FOMO) membuat Generasi Z cenderung ingin selalu mengikuti tren terbaru. Ketika hoaks menjadi viral, mereka kerap langsung mempercayai atau menyebarkannya tanpa memeriksa kebenarannya. Algoritma media sosial juga turut berkontribusi, di samping adanya skeptisisme terhadap sumber berita resmi.
Menanggapi tantangan ini, Medialink bekerja sama dengan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) berinisiatif meningkatkan literasi digital di kampus-kampus seluruh Indonesia. Program literasi ini dirancang untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya mengelola informasi dan memberikan pelatihan teknis kepada mahasiswa agar mampu memfilter berita palsu.
“Kami sudah melakukan pelatihan di kampus-kampus di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan kini di Banten. Agenda berikutnya akan menyasar kampus-kampus di luar Pulau Jawa,” ujar Program Manajer Medialink, Leli Qomarulaeli.
Melalui pelatihan ini, mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen anti-hoaks yang aktif, membantu memutus rantai penyebaran informasi palsu, dan mendorong terciptanya lingkungan digital yang lebih sehat.
"Literasi digital di kalangan mahasiswa menjadi kunci untuk menghadapi tantangan era informasi saat ini," tutup Leli.(rls).