Presidium Mafindo Puji F. Susanti.(foto: ist) |
GARUT - Indonesia, sebagai negara dengan jumlah pengguna internet yang sangat besar, kini menghadapi tantangan serius dalam mengatasi perkembangan informasi yang begitu pesat.
Sayangnya, tingginya konsumsi informasi tidak diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang memadai, sehingga berakibat pada banyaknya penyebaran berita bohong (hoaks) di masyarakat.
Berdasarkan penelitian MIT pada 2018, hoaks memiliki tingkat penyebaran yang enam kali lebih cepat dibandingkan berita fakta di berbagai platform media sosial. Hoaks cenderung lebih mengejutkan dan menarik perhatian, sehingga mudah viral.
Di antara berbagai lapisan masyarakat, generasi Z terutama yang tersebar di kampus-kampus merupakan kelompok yang paling rentan terpapar hoaks.
Sebagai digital native, mereka sangat terampil dalam menggunakan gawai, namun sering kali kurang dalam kemampuan untuk memverifikasi kebenaran informasi yang diterima.
Hal ini yang melatarbelakangi Medialink dan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) untuk meluncurkan program literasi digital di komunitas kampus.
Program ini diharapkan dapat membangun kesadaran positif mengenai informasi yang benar dan memberikan keterampilan dalam menangkal penyebaran hoaks.
Direktur Eksekutif Medialink, Ahmad Faisol, dalam acara yang digelar di Universitas Garut (Unigar) pada 15 Januari 2025, menjelaskan pentingnya peran kampus dalam menyikapi peredaran hoaks.
"Kami berharap, dengan membangun komunitas informasi yang positif di kalangan kampus, mahasiswa dapat menjadi agen yang bekerja keras untuk menangkal hoaks di masyarakat,” katanya.
Ahmad Faisol juga menyoroti lemahnya perilaku bijak di media sosial di kalangan mahasiswa. Padahal, dengan literasi digital yang tepat, mereka dapat menjadi garda terdepan dalam memerangi hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian (hate speech).
Peredaran hoaks yang cepat dan massif, lanjut Faisol, dapat menyebabkan gangguan informasi di masyarakat, bahkan memicu munculnya penyakit psikologis seperti mudah curiga dan saling menjelekan tanpa dasar yang jelas. Oleh karena itu, kampus dan mahasiswa diharapkan dapat menjadi agen perubahan dan anti-hoaks.
Faktor-faktor yang menyebabkan generasi Z mudah terpapar hoaks antara lain adalah kurangnya literasi digital dan karakter FOMO (Fear of Missing Out), yang membuat mereka cenderung percaya dan menyebarkan informasi yang viral tanpa memverifikasi kebenarannya.
Selain itu, algoritma media sosial dan kecenderungan skeptis terhadap sumber berita resmi juga berkontribusi pada penyebaran hoaks.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni Universitas Garut, Iman Saifullah, mengakui bahwa gangguan informasi di masyarakat, khususnya di Garut, sangat terasa, terutama menjelang perhelatan pemilihan kepala daerah.
"Kita mengalami kerepotan luar biasa menangkal peredaran hoaks menjelang pilkada, karena kebetulan ada kandidat dari keluarga besar kami sendiri,” ujarnya.
Iman juga menyambut baik gerakan literasi digital yang digagas oleh Medialink dan Mafindo.
“Gerakan-gerakan ini harus diperbanyak sehingga tercipta komunitas kampus yang sadar akan informasi positif di Indonesia,” tandasnya.(**)