![]() |
Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) saat audensi dengan Sat Pol PP Sukoharjo belum lama ini (foto: ist) |
SURAKARTA - Solo Paragon rencananya akan menggelar acara Kuliner Non-Halal pada Kamis, 13 Februari 2025. Pihak manajemen Solo Paragon mengklaim telah memperoleh izin dari Polresta Surakarta untuk menyelenggarakan acara tersebut.
Namun, Laskar Umat Islam Surakarta (LUIS) melalui Humasnya, Endro Sudarsono, menyampaikan bahwa hingga 11 Februari 2025 sore, pihaknya belum menerima pengajuan izin dari Solo Paragon ke Polresta Surakarta.
Dalam audiensi yang dilakukan LUIS bersama Satpol PP pada 11 Februari 2025, pihak Pemerintah Kota Surakarta juga menyatakan bahwa mereka tidak merekomendasikan acara tersebut.
Lebih lanjut, saat audiensi dengan Polresta Surakarta, terungkap bahwa izin untuk acara tersebut baru bisa dikeluarkan setelah mendapatkan rekomendasi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Solo dan Kementerian Agama (Kemenag) Kota Surakarta. Namun hingga pagi ini, LUIS belum menemukan adanya rekomendasi dari kedua lembaga tersebut.
Terkait peraturan izin keramaian, LUIS mengingatkan bahwa dalam Peraturan Polri No. 7 Tahun 2023 Pasal 10 Ayat 1 Huruf C, disebutkan bahwa izin keramaian harus disertai rekomendasi dari instansi terkait.
"Dalam hal ini, rekomendasi dari MUI dan Kemenag Kota Surakarta sangatlah penting," ujar Endro melalui keterangan tertulisnya, Kamis 13 Februari 2025.
Menurutnya, jika rekomendasi dari MUI dan Kemenag Kota Surakarta tidak ada, timbul pertanyaan mengenai apakah ada rekomendasi lain yang dapat menggantikan kedua lembaga tersebut.
"LUIS juga meminta kepada Kapolresta Surakarta untuk mencabut izin keramaian acara Kuliner Non-Halal tersebut," pinta Endro.
Masih kata Endro menuturkan, sejumlah alasan, antara lain adanya penolakan dari ormas Islam, belum adanya rekomendasi dari ormas keagamaan, potensi gangguan ketertiban masyarakat (Kamtibmas), serta kemungkinan terjadinya maladministrasi dalam proses perizinan.
Endro menegaskan bahwa makan babi adalah haram bagi umat Islam, dan seharusnya yang haram perlu dibatasi atau bahkan dilarang untuk menghindari polemik dan kontroversi.
"Jika acara semacam ini dibiarkan, maka dapat memunculkan festival-festival haram lainnya, seperti yang berkaitan dengan zina, LGBT, minuman keras, hingga judi. Hal ini menurutnya berpotensi merusak tatanan sosial dan mengganggu toleransi antarumat beragama," tegasnya.
LUIS berharap agar kebijakan terkait perizinan lebih memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial, sehingga tidak menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat.(rls/ary)