Oleh : Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., M.M.
Sudah hampir 10 (sepuluh) tahun usia dewan pers dilahirkan, satu tahun setelah lahir UU Pers maka pada tahun 2000 beberapa organisasi dan perusahaan pers membentuk dewan pers dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan pers nasional agar menjadi kuat dalam persatuan dan meraih cita-cita serta harapan yaitu kemerdekaan pers yang seutuhnya.
Tapi apa yang disuguhkan dewan pers kepada insan pers nasional justru sebaliknya, terjadi perpecahan di antara insan pers nasional, dewan pers melakukan diskriminasi dan dikotomi terhadap seluruh pers nasional atas statemen 'konstituen dan bukan konstituen dewan pers', ditambah pernyataan konyol beberapa oknum dewan pers yang pernah viral yaitu wartawan abal-abal, bodrek dan ilegal.
Stigma ini yang menjadikan bencana terbelahnya persatuan dan kesatuan insan pers nasional sehingga menuai kritikan tajam dari berbagai elemen dan tokoh pers nasional, tidak berhenti disitu dewan pers banyak melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan amanat UU Pers bahkan bertentangan.
Disini penulis menganggap perlu adanya perubahan secara total, mungkin sudah saatnya Dewan Pers direformasi baik reformasi struktural maupun reformasi operasional, bertujuan agar Dewan Pers kembali sesuai tugas dan fungsi yang diamanatkan UU Pers No.40 Tahun 1999, dimana tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers, dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers sehingga terwujud suatu ekosistem pers nasional yang sehat, berkualitas dan bermartabat.
Sebagai bahan pertimbangan dan kajian, penulis akan memperlihatkan beberapa tindakan, kebijakan dan kegiatan dewan pers yang dianggap sudah melampaui batas dari tugas dan fungsi dewan pers menurut UU Pers, antara lain;
1. Dewan Pers memelihara dan menumbuh kembangkan paradigma negatif yaitu diskriminasi.
Dewan Pers selalu memelihara dan mengembangkan paradigma diskriminatif dengan memunculkan istilah konstituen dan bukan konstituen dewan pers, bahkan ada oknum dewan pers secara vulgar mengeluarkan statemen bahwa di luar konstituen dewan pers adalah abal-abal dan ilegal.
Dari pernyataan konyol ini berdampak besar terhadap kehidupan insan pers nasional, mengakibatkan perpecahan besar antar wartawan, kemudian dimanfaatkan oleh beberapa oknum pejabat pemerintah dalam mensikapi wartawan dengan mengikuti stigma dari dewan pers yaitu wartawan abal-abal atau ilegal.
Seharusnya dewan pers berperan aktif untuk membangun persatuan dan kesatuan insan pers, serta menciptakan ekosistem pers nasional yang sehat dan berkualitas.
Apalagi dewan pers adalah lembaga independen yang tidak boleh memihak kepada sebagian komunitas apalagi melakukan diskriminatif dan dikotomi terhadap insan pers nasional dengan statemen konstituen dan bukan konstituen dewan pers, ini awal pemicu perpecahan dan penyebab utama dalam merobek dan menghancurkan keutuhan persatuan insan pers nasional.
2. Dewan Pers membuat aturan untuk mengatur Organisasi Wartawan, Perusahaan Pers dan Wartawan.
Dewan Pers telah banyak membuat aturan demi kepentingan dewan pers sendiri dan membuat aturan untuk mengatur urusan organisasi pers, perusahaan pers dan wartawan. Seperti diterbitkannya statuta dewan pers, Standar Kompetensi Wartawan, Uji Kompetensi Wartawan, MoU dengan lembaga negara dan lain-lain.
Adapun fungsi dewan pers yaitu memfasilitasi organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan bukan membuat aturan untuk mereka.
Sedangkan definisi kata ‘Memfasilitasi’ maknanya bahwa dewan pers tidak bertindak sebagai lembaga pembuat aturan (regulator). Karena penyusunan peraturan di bidang pers dilakukan oleh organisasi pers dan dewan pers hanya sebagai fasilitator, bukan regulator.
Karena dewan pers tidak memiliki wewenang untuk membuat kebijakan dan peraturan yang mengikat organisasi dan perusahaan pers, sehingga dapat dibuktikan bahwa semua peraturan dewan pers tidak satupun yang diundangkan dan dicatat dalam Lembaran Negara RI maupun Tambahan Lembaran Negara.
Maka penulis berpendapat semua peraturan dewan pers tidak sah dan tidak mengikat organisasi wartawan, perusahaan pers dan insan pers nasional.
3. Dewan Pers melakukan verifikasi terhadap Organisasi Wartawan dan Perusahaan Pers.
Dewan pers telah melakukan kesalahan besar dengan mengadakan verifikasi terhadap organisasi wartawan dan perusahaan pers, program ini menunjukan arogansi dan kedunguan dewan pers.
Dewan Pers seakan memiliki kewenengan dan kekuasaan dalam menentukan organisasi dan perusahaan pers mana yang dianggap lulus dan tidak lulus verifikasi, yang lulus akan dimasukan komunitas konstituen dewan pers dan yang tidak lulus atau yang belum mengikuti verifikasi dianggap bukan konstituen dewan pers, ini adalah kesalahan fatal, salah dalam memahami perbedaan pendataan dan verifikasi.
Pendataan adalah proses mengumpulkan data, sedangkan verifikasi adalah proses pemeriksaan kebenaran data, adapun tugas dan fungsi dewan pers yaitu mendata (melakukan pendataan) bukan melakukan verifikasi.
Pendataan dan verifikasi adalah dua proses yang berbeda, meskipun keduanya terkait dengan pengumpulan dan pengolahan data. Pendataan (dalam konteks Dewan Pers) adalah proses pengumpulan data tentang organisasi wartawan dan perusahaan pers, seperti nama, alamat, jenis usaha, dan lain-lain.
Pendataan ini bertujuan untuk membuat daftar atau direktori organisasi wartawan dan perusahaan pers yang ada di Indonesia.
Diharapkan dewan pers bisa mendata seluruh organisasi wartawan dan perusahaan pers di Indonesia, baik organisasi dan perusahaan yang sudah besar, maupun yang masih kecil.
Sehingga dengan bantuan dana besar dari pemerintah seyogianya dewan pers bisa membangun ekosistem insan pers nasional yang sehat dengan memelihara organisasi dan perusahaan yang sudah besar kemudian berupaya memfasilitasi organisasi dan perusahaan yang masih lemah menjadi besar sehingga bisa ikut bersaing secara sehat pada era digital yang akan datang.
4. Dewan Pers melakukan MOU (Memorandum of Understanding) dengan lembaga-lembaga negara.
Dari hasil verifikasi dewan pers mengeluarkan keputusan resmi bahwa konstituen dewan pers berjumlah 10 organisasi wartawan (kelompok minoritas) dari organisasi wartawan yang berjumlah kurang lebih 50 organisasi wartwan (kelompok mayoritas), artinya konstituen dewan pers hanya 20 persen dan yang bukan konstituen 80 persen.
Tiba-tiba dewan pers melakukan MOU dengan lembaga negara, contohnya dengan polri, disaat melakukan MOU dewan pers ini mengatasnamakan perwakilan siapa? sedangkan mayoritas insan pers nasional tidak merasa terwakili dan ironisnya mereka justru protes mengecam terhadap banyak hal yang dilakukan dewan pers, bahkan sekarang ini kebanyakan organisasi dan perusahaan pers sudah tidak menganggap dewan pers, sebagian mereka menginginkan dewan pers dibubarkan karena sudah tidak sesuai dengan amanat UU Pers.
Kesimpulan:
Masih banyak yang lain dari program dan kebijakan dewan pers yang bertentangan dengan tugas dan fungsi yang sesuai amanat UU Pers, tapi dari 4 (empat) contoh diatas sudah cukup kuat untuk menilai bahwa kinerja Dewan Pers sangat buruk, ditambah hampir sebagian besar insan pers nasional tidak merasakan dampak positif dari program dan kebijakan dewan pers, yang ada terpecah belah parsatuan dan kesatuan pers nasional, maka disini penulis mengambil kesimpulan dan berpendapat, antara lain;
1. Bahwa sudah saatnya dewan pers direformasi secara total baik struktural maupun operasionalnya, mengingat dewan pers adalah lembaga independen yang bisa membantu seluruh orgsnisasi wartawan dan perusahaan pers dengan tanpa membeda-bedakan satu sama yang lainnya serta bisa membangun ekosistem pers secara sehat dan berkualitas.
2. Dalam pembentuk kepengurusan dewan pers yang baru diharapkan seluruh organisasi wartawan yang sebanyak kurang lebih 50 organisasi agar bersatu dan kompak dalam menentukan kepemimpinan dewan pers, memilih orang-orang yang punya komitmen dan profesional dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga dan memperjuangkan kebebasan pers seutuhnya dengan manajemen yang transparan dan akuntabilitas.
Penulis adalah Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN