![]() |
Ketua DPRD Karawang H.Endang Sodikin (berpeci hitam) saat menjadi narasumber Diskusi Publik tentang Lingkungan di DAS Kopi Karawang, Sabtu 15 Maret 2025.(foto: firzan) |
KARAWANG - Mahasiswa dari berbagai kampus dan aktivis lingkungan di Karawang hadiri diskusi publik bertajuk 'Industri Pertambangan vs Nasib Kawasan Lindung Geologi Karst Pangkalan' di DAS Kopi, Jalan Veteran I Kerawang Wetan, Karawang Jawa Barat, Sabtu 15 Maret 2025 sore.
Diskusi ini menyoroti perlindungan kawasan karst yang dinilai belum mendapatkan perhatian yang memadai.
Hadir pada acara tersebut, Ketua DPRD Karawang H. Endang Sodikin, Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Buana Perjuangan (UBP) Karawang Irfan Maulana, perwakilan Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan (HMTL) Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA) Rofiq Nurhadi, serta Ketua HMTL Universitas Kebangsaan Republik Indonesia (UKRI) Bandung Munawar Raditya, mengangkat berbagai isu krusial terkait dampak pertambangan terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Pantauan di lokasi, tak kurang dari seratus mahasiswa dari berbagai kampus dan aktivis lingkungan di Karawang hadir kegiatan yang kali pertama digelar pada tahun 2025 ini.
Pada kesempatan pertama, Endang Sodikin menekankan pentingnya dukungan dari mahasiswa dan komunitas pecinta lingkungan sebagai agen perubahan dalam melindungi kawasan karst Karawang.
"Keterlibatan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah tersebut," sebut Ketua DPRD yang berasal dari Partai Gerindra ini.
Sementara Rofiq Nurhadi, dalam pemaparannya, mengingatkan dampak negatif pertambangan, terutama terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat akibat paparan debu yang dihasilkan oleh industri pertambangan.
Ia juga menekankan perlunya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan yang dapat membahayakan ekosistem sekitar.
Senada, Munawar Raditya, meskipun berasal dari Bandung, turut menyatakan keprihatinannya terhadap dampak negatif pertambangan di Karawang.
Ia menyebutkan beberapa dampak yang telah terjadi, seperti hilangnya sumber daya air, pemanasan global, dan meningkatnya risiko banjir, yang turut memengaruhi kawasan Karawang.
Sementara itu, Irfan Maulana menyoroti ketidaksesuaian antara data luas kawasan lindung karst Pangkalan. Data menunjukkan bahwa kawasan tersebut memiliki luas 1.012 hektare, sementara Kementerian ESDM hanya mengakui seluas 375 hektare.
Ketidaksesuaian ini, menurutnya, menjadi permasalahan penting yang perlu segera diselesaikan guna memastikan perlindungan kawasan karst yang optimal.
Diskusi ini lanjutnya, menjadi bukti meningkatnya kesadaran masyarakat dan komunitas akademik terhadap keberlanjutan kawasan lindung geologi di Karawang.
"Semoga dari diskusi ini dapat mendorong pemerintah daerah untuk meninjau kembali kebijakan pertambangan di wilayah tersebut demi menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan hidup masyarakat," pungkasnya.(Firzan).