![]() |
Ilustrasi |
Oleh : Noorhalis Majid
Orang Banjar sangat lekat dengan sungai. Begitu lekatnya, sungai menjadi inspirasi. Segala fenomena yang ada di sungai, ditangkap dan dimaknai sebagai nasehat. Bahkan yang nampak kotor dan jorok pun, mampu dijadikan nasehat hidup.
Muncul berbagai ‘papadah’ dalam bentuk paribasa, 'baguna tahi larut', mungkin bagi yang tinggal di pinggir sungai, papadah ini sangat umum disampaikan orang tua. Papadah yang sangat menohok, bahwa kalau tidak mau membekali diri dengan banyak pengetahuan dan ilmu, nanti tidak akan bisa memberi manfaat bagi manusia lainnya.
Bukankah manusia mulia, yang paling memberi manfaat bagi manusia lainnya?. Sedangkan tahi yang larut saja memberi manfaat bagi puyau, lundu, buntal dan baung. Kalau tidak bisa memberi manfaat, berarti kalah dengan tahi yang larut.
Ada banyak paribasa populer yang lahir dari mengamati fenomena dan segala hal terkait sungai, misal, umpat batang timbul, baupang di batang tinggalam, tabuati jukung miris, kayuh ampun inya haja, kadada buriniknya, tinggalam batu, manggiring banyu, atau yang sarat filosofs seperti kada pagat banyu ditatak, bahwa persaudaraan itu seperti air, tidak bisa diputuskan, apalagi persaudaraan sedarah, ikatannya sangatlah kuat.
Orang Banjar, terutama yang tinggal di hulu banyu, membangun persaudaraan sealiran sungai, se batang banyu. Persaudaraan seperti itu tidak mudah diputuskan oleh perkara remeh temeh, layaknya air yang tidak bisa ditatak.
Ada juga paribasa yang sangat cerdas dan aktual hingga kini, 'ada jukung handak bakunyung', memberikan gambaran, bahwa bila kemajuan sudah mampu mempermudah segala hal, tidak perlu lagi bersusah diri dengan cara lama. Lebih baik manfaatkan yang sudah mampu mempermudah tersebut, agar tujuan cepat tercapai.
Bila sudah ada jukung, namun masih bakunyung, artinya tidak memanfaatkan segala kemajuan dan fasilitas yang sudah tersedia untuk meraih segala yang diharapkan.
Pun ada paribasa berbunyi bacaramin di banyu karuh, bakunyung di banyu landas, banyu tanang jangan dikira kada babuhaya, dan masih banyak paribahasa lainnya, yang lahir dari sungai, sebagai bukti bahwa orang Banjar sangat lekat hubungannya dengan sungai.
Kalau kemudian sungai menjadi hilang, atau tidak berfungsi lagi. Maka orang Banjar tidak saja kehilangan sarana transportasi dan perdagangan, namun juga kehilangan berbagai kearifan berupa papadah berbasis sungai. Padahal papadah inilah yang membangun jati diri dan karakter orang Banjar.
Bagaimana mungkin papadahnya mampu dimaknai, jika fenomenanya berupa sungai, sudah tidak ada lagi?.
Atau sebaliknya, jangan-jangan nalar kita sundah tumpul, tidak mampu menangkap berbagai nasehat, kekecewaan, dan mungkin pula protes tersirat, dari sungai yang sedang sekarat tersebut?
Penulis adalah aktivis berasal dari Banjarmasin Kalimantan Selatan