![]() |
Salihin saat memimpin rapat si Parlemen.(foto: ist) |
BANDA ACEH - Di tanah Aceh, yang lekat dengan sejarah perjuangan dan luka masa lalu, lahir sosok yang menempuh jalan berbeda. Bukan dengan teriakan, bukan dengan baliho, tapi dengan ketulusan yang diam-diam tumbuh dalam kesunyian.
Namanya Salihin, bukan politisi flamboyan, bukan pula jenderal dengan deretan bintang. Ia hanya anak kampung, yang sejak kecil diajari bahwa kehormatan bukan datang dari kekuasaan, tapi dari kepercayaan.
Lahir dari keluarga petani di pelosok Aceh, Salihin tumbuh bersama lumpur sawah dan pelajaran mengaji di langgar desa. Sekolah ia jalani tanpa kemewahan, tanpa sepatu bagus atau tas bermerek. Tapi justru di situlah ia mengakar belajar bahwa hidup bukan tentang tampil, tapi tentang bertahan dengan nilai.
“Ayah saya hanya petani, ibu saya juga. Kami tidak punya banyak. Tapi kami punya nilai. Itu cukup,” kata Salihin, suatu sore di kediamannya yang masih sederhana.
Ia bergabung ke kepolisian, mengejar mimpi yang sama seperti ribuan pemuda lain. Tapi Salihin punya cara pandang berbeda: seragam cokelat bukan simbol kekuasaan, melainkan sarana pengabdian. Selama lebih dari 12 tahun bertugas di satuan reskrim, ia tak pernah tersentuh kasus pelanggaran.
Masyarakat menyebutnya 'brigadir bersih'. Seorang warga bahkan mengingat, kalau ada masalah, kami lebih tenang kalau yang datang Pak Salihin.
Namun, sebuah kegelisahan tumbuh dalam dirinya. Ia ingin lebih dari sekadar menegakkan hukum, ia ingin mengubah akar masalah. Maka pada usia 31 tahun, Salihin mundur dari kepolisian. Tanpa publikasi, tanpa upacara pelepasan. Hanya satu kalimat pada komandannya.
“Saya ingin lebih dekat dengan rakyat,” ucapnya.
Langkah berikutnya mengejutkan banyak orang: Salihin maju sebagai calon legislatif melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Pemilu 2019. Tanpa dana besar, tanpa kampanye berisik, ia hanya mengandalkan silaturahmi dan rekam jejak pengabdian.
Dan rakyat membalasnya dengan kepercayaan. Ia meraih suara terbanyak di Dapil IV. Lima tahun kemudian, ia terpilih kembali dan kini menjabat sebagai Wakil Ketua III DPRA, membidangi kesejahteraan rakyat.
“Tidak banyak janji, tapi saya kerja. Rakyat tahu itu,” ujarnya singkat.
Di kantor, ia dikenal tenang dan fokus. Di luar kantor, namanya akrab di telinga pasien miskin yang dibantunya diam-diam.
Ia memperjuangkan birokrasi kesehatan yang lebih manusiawi, mendirikan rumah singgah untuk pasien dari wilayah pedalaman, dan mendorong pembangunan rumah sakit regional agar layanan kesehatan tak lagi terpusat di Banda Aceh.
“Saya tahu rasanya tidak punya uang untuk berobat. Saya tidak mau rakyat saya mengalami itu sendiri,” ucapnya lirih.
Tak hanya kesehatan, pendidikan juga menjadi perhatian utamanya. Ia rajin mengunjungi sekolah-sekolah kecil, mengirim buku, dan memperjuangkan anggaran untuk pesantren dan dayah. Baginya, pendidikan adalah pondasi peradaban.
“Setelah bom atom dijatuhkan, Kaisar Jepang hanya tanya, berapa guru yang tersisa?” katanya, mengutip sejarah.
“Karena mereka tahu, bangsa bisa bangkit jika gurunya masih ada," sebutnya.
Kini, saat banyak politisi berlomba pencitraan, Salihin justru berjalan sebaliknya. Ia menolak ekspos berlebihan. Rumahnya tetap sederhana, ia masih menanam kopi, aren, dan palawija di kebunnya.
Ia masih duduk bersama petani dan mahasiswa, membuka pintu bagi siapa pun yang ingin datang.
Sebagai Wakil Ketua DPW PKB Aceh, ia punya posisi strategis. Tapi Salihin menolak menjadi elit partai yang sibuk berpolitik dalam ruang tertutup. Ia memilih menjadi jembatan.
"Kita boleh berbeda strategi, tapi jangan berbeda niat. Kalau niatnya untuk rakyat, kita pasti satu jalan,” tegasnya.
Salihin adalah pengingat bahwa politik tidak harus penuh drama. Bahwa jabatan tidak harus membuat seseorang menjauh dari rakyat. Bahwa kepercayaan tidak bisa dibeli dengan baliho, tapi dibangun dengan dedikasi.
“Harapan saya cuma satu,” katanya. “Rakyat kita bisa hidup makmur dan sejahtera. Pendidikan harus terjangkau. Kesehatan harus merata. Karena di situlah awal dari segala kemajuan," ucapnya.
Lalu ia menatap ke luar jendela, ke arah kebun yang hijau dan sunyi. Di situlah, mungkin, ia menanam bukan hanya tanaman, tapi juga harapan, bahwa politik bisa dijalani dengan hati.(**)